Upaya Identifikasi COVID-19: Tes Antibodi Virus

Artikel ini terakhir di perbaharui September 9, 2020 by Rinaldi Syahran
Upaya Identifikasi COVID-19: Tes Antibodi Virus
Masker gas pakaian kuning diselimuti virus dalam 3D - freepik/jokiewalker

Dalam upaya membuka peluang pengobatan Covid-19 dengan identifikasi, muncul pertanyaan tentang keakuratan tes antibodi terhadap SARS-CoV-2 (virus yang menyebabkan COVID-19), dan kemungkinan penyalahgunaan dan kesalahan dalam memahami tes tersebut.

Keraguan ini telah mendorong U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) — lembaga pengendalian dan penyebaran penyakit milik pemerintah Amerika Serikat (AS) — merilis pedoman sementara untuk tes ini pada bulan Mei lalu.

Kesalahpahaman Tentang Tes Antibodi SARS-CoV-2 (Covid-19)

Ilustrasi Penyebaran Informasi COVID-19
Tenaga medis wanita memakai pakaian protektif untuk melawan virus dan memegang megaphone – freepik/massonstock

Beberapa media berita telah melaporkan adanya hasil yang tidak akurat dari beberapa tes antibodi SARS-CoV-2 (virus corona) yang tersedia secara komersial. Mereka juga melaporkan adanya kesalahpahaman publik dan penyedia layanan kesehatan tentang informasi apa yang dapat diberikan oleh pengujian ini.

Tes antibodi SARS-CoV-2, sering disebut tes serologi, mendeteksi antibodi terhadap SARS CoV-2 dalam darah, yang menunjukkan respons kekebalan terhadap infeksi yang akan berkembang bahkan pada orang yang tidak memiliki gejala COVID-19. Namun, keberadaan antibodi tidak menunjukkan apakah seseorang mengidap penyakit aktif, atau apakah ada kekebalan perlindungan terhadap infeksi ulang.

Tes serologi berbeda dengan tes PCR diagnostik, yang menemukan materi genetik dari SARS-CoV-2 dengan tes swab hidung dan tenggorokan. Tes antibodi tidak digunakan untuk mendiagnosis infeksi COVID-19.

Seberapa Akurat Identifikasi Hasil Tes Covid-19?

Ilustrasi identifikasi COVID-19
Seorang asisten lab dengan kacamata, masker, serta sarung tangan medis yang pegang tube tes – freepik/goffkein

Tes serologi memberikan hasil positif (reaktif, antibodi terdeteksi) atau negatif (non-reaktif, antibodi tidak terdeteksi) untuk ada atau tidak adanya antibodi untuk melawan virus SARS-CoV-2. Penelitian menunjukkan bahwa antibodi ini paling sering terdeteksi sekitar satu hingga tiga minggu setelah timbulnya gejala. Pada titik tersebut, kemungkinan penularan telah menurun. Ada kemungkinan juga bahwa beberapa tingkat kekebalan dari infeksi di masa depan mungkin telah berkembang, tetapi bukti untuk hal ini belum meyakinkan.

Pedoman CDC memperingatkan agar tidak mengasumsikan bahwa orang dengan hasil tes antibodi positif terlindung dari infeksi Covid-19 di masa mendatang. Data tambahan diperlukan sebelum mengubah rekomendasi kesehatan masyarakat tentang jarak fisik dan penggunaan alat pelindung diri berdasarkan hasil tes serologi.

Pedoman tersebut menekankan bahwa hasil antibodi tidak boleh digunakan untuk membuat keputusan tentang penerimaan dan pengelompokan orang di sekolah, asrama, dan fasilitas pemasyarakatan, atau menentukan apakah karyawan sudah boleh kembali ke tempat kerja.

Namun, tes antibodi SARS-CoV-2 dapat membantu menentukan proporsi populasi yang sebelumnya terinfeksi virus dan memberikan informasi tentang komunitas dan populasi mana yang mungkin telah mengalami tingkat infeksi yang lebih tinggi.

Dalam beberapa kasus, hasil tes serologi dapat membantu menentukan siapa yang memenuhi syarat untuk mendonorkan darah yang dapat digunakan sebagai bagian dari uji klinis terapi plasma pemulihan Covid-19 dalam lingkup nasional.

Tes antibodi juga dapat digunakan sebagai bantuan untuk diagnosis COVID-19 untuk pasien yang terlambat melaporkan gejala penyakitnya (sekitar sembilan hingga 14 hari setelah timbulnya gejala) dan memiliki hasil tes PCR negatif. Hasil antibodi positif pada pasien ini, di samping gejala yang konsisten dengan Covid-19, dapat membantu memastikan diagnosis.

Strategi untuk Memastikan Akurasi Tes Covid-19

Ilustrasi identifikasi COVID-19 Tes Antibodi Virus
Tampak depan dokter yang sedang fokus melihat ke arah vacutainer – freepik/freepik

Pedoman CDC tersebut menekankan pentingnya meminimalkan hasil tes antibodi yang tidak akurat, terutama hasil positif palsu (hasil yang secara keliru dari tindakan identifikasi bahwa seseorang memiliki antibodi COVID-19 dan telah terinfeksi, padahal sebenarnya tidak). Ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi berbeda.

Panduan tersebut merekomendasikan penggunaan tes serologi yang telah terbukti mengecualikan dengan benar individu tanpa antibodi SARS-CoV-2 (COVID-19) dan identifikasi mereka yang memiliki antibodi (sensitivitas tinggi) dengan tepat.

Pedoman CDC mencatat bahwa Food and Drug Administration (FDA) AS pada bulan Mei hanya memperbolehkan penggunaan alat tes antibodi yang dijual oleh perusahaan diagnostik yang telah menjalani tinjauan independen dan telah mendapatkan otorisasi penggunaan darurat (EUA). Sebelumnya di bulan Maret, FDA mengizinkan penggunaan alat tes yang belum mendapatkan EUA dan saat masih dalam peninjauan (untuk mendapatkan EUA).

FDA saat ini mewajibkan produsen untuk mengirimkan data validasi untuk EUA yang menunjukkan bahwa pengujian tersebut memenuhi ambang batas spesifisitas dan sensitivitas yang ditentukan untuk memastikan keakuratan pengujian.

Bahkan jika penguji menggunakan tes dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi, pedoman CDC merekomendasikan untuk menguji populasi dan individu dengan kemungkinan tinggi terpapar Covid-19 sebelumnya. Ini meningkatkan kemungkinan bahwa hasil positif adalah memang benar positif. Sebaliknya, menguji orang di wilayah dengan jumlah kasus Covid-19 rendah meningkatkan kemungkinan keluarnya hasil positif palsu, karena kecilnya kemungkinan menemukan orang yang telah terinfeksi.

Pada populasi dengan jumlah kasus Covid-19 yang rendah, strategi yang tepat mungkin menggunakan dua tes antibodi, bukan hanya satu. Jika tes antibodi awal positif, tes antibodi kedua yang berbeda dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil awal.

Misalnya, tes yang dilakukan di titik perawatan — point of care (POC) — umumnya tidak seakurat tes yang dilakukan di laboratorium, sehingga tes POC positif dapat dilengkapi dengan tes antibodi kedua yang dilakukan di laboratorium untuk memastikan hasilnya.

Dalam artikel terbaru tentang kebijakannya yang telah diperbarui, FDA mencatat bahwa beberapa orang mungkin memerlukan dua tes antibodi, seperti yang disarankan oleh pedoman sementara CDC. Menurut Wakil Komisaris FDA untuk Urusan Medis dan Ilmiah Anand Shah, MD, dan Direktur Pusat FDA untuk Perangkat dan Kesehatan Radiologi Jeff Shuren, MD, bahkan tes antibodi berkinerja tinggi bisa jadi kurang akurat ketika digunakan pada orang yang tinggal di daerah tanpa infeksi Covid-19.

“Itulah mengapa tes antibodi hanya boleh digunakan sebagai bagian dari rencana pengujian yang disusun dengan baik dan mengapa hasilnya harus selalu diinterpretasikan oleh ahli yang tepat,” tulis mereka.

Retno Wulandari
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan hanya senda gurau dan main-main. Sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, jika saja mereka mengetahui."